Jumat, 08 Maret 2013

Tafsir At Taubah Ayat 107-116

Ayat 107-110: Kaum munafik dan masjid dhirar, keharusan waspada terhadap tipu muslihat orang yang mempergunakan masjid sebagai alatnya, dan pentingnya masjid untuk mengajak manusia kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (١٠٧) لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (١٠٨) أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (١٠٩) لا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ               (١١٠)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 107-110

107. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman)[1], untuk kekafiran[2] dan untuk memecah belah antara orang-orang yang beriman[3], serta untuk menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu[4]. Mereka dengan pasti bersumpah, "Kami hanya menghendaki kebaikan[5]." Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya)[6].

108. Janganlah kamu melaksanakan shalat dalam mesjid itu selama-lamanya[7]. Sungguh, mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama[8] adalah lebih pantas kamu melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang[9] yang ingin membersihkan diri[10]. Allah menyukai orang-orang yang bersih[11].

109.[12] Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?[13] Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

110. Bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi penyebab keraguan dalam hati mereka, sampai hati mereka hancur[14]. Dan Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana[15].

Ayat 111-112: Hakikat bai’at dan berjanji dengan Allah Subhaanahu wa Ta'aala, sifat orang-orang yang berbai’at, penjelasan tentang perniagaan yang menguntungkan dan sifat orang-orang yang mendapatkannya

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١١١) التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (١١٢

Terjemah Surat At Taubah Ayat 111-112

111. Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka[16] dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran[17]. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah?[18] Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu[19], dan demikian itulah keberhasilan yang agung[20].

112.[21] Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat[22], beribadah[23], memuji (Allah)[24], mengembara[25], ruku', sujud[26], menyuruh berbuat ma'ruf[27] dan mencegah dari yang munkar[28] dan yang memelihara hukum-hukum Allah[29]. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman[30].

Ayat 113-116: Larangan memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, dan sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan bapaknya

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (١١٣)وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ (١١٤) وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (١١٥) إِنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (١١٦

Terjemah Surat At Taubah Ayat 113-116

113.[31] Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik[32], sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahanam[33].

114. Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya[34]. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah[35], maka Ibrahim berlepas diri darinya[36]. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya[37] lagi penyantun[38].

115. Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, setelah mereka diberi-Nya petunjuk[39], sehingga dijelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi[40]. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu[41].

116. Sesungguhnya Allah memiliki kekuasaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan[42]. Tidak ada pelindung dan penolong bagimu (wahai manusia) selain Allah.


[1] Jumlah mereka ada dua belas orang.

[2] Karena mereka membangunnya atas perintah seorang pendeta Nasrani bernama Abu ‘Amir agar menjadi bentengnya, di mana orang-orang yang datang dari sisinya singgah di situ. Ia pergi untuk membawa tentara dari Kaisar untuk memerangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu ‘Amir di masa jahiliah adalah seorang ahli ibadah, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, ia kafir kepada Beliau dan pergi menemui orang-orang musyrik guna meminta bantuan kepada mereka memerangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

[3] Di mana sebagiannya ada yang shalat di Quba’, dan sebagian lagi ada yang shalat di masjid mereka, karena masjidnya berdekatan.

[4] Yang dimaksudkan dengan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu ialah Abu 'Amir, yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya dari Syiria untuk datang ke masjid yang mereka dirikan itu, serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. Akan tetapi kedatangan Abu 'Amir ini tidak jadi karena ia mati di Syiria. Kemudian masjid yang didirikan kaum munafik itu diruntuhkan atas perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena wahyu yang diterimanya setelah kembali dari perang Tabuk.

[5] Yakni karena kasihan terhadap orang miskin agar mereka tidak kehujanan atau kepanasan, dan untuk melapangkan kaum muslimin.

[6] Sedangkan persaksian Allah lebih benar daripada sumpah mereka.

[7] Yakni jangan shalat di masjid yang dibangun untuk menimbulkan bencana itu, karena sesungguhnya Allah tidak butuh kpadanya dan kamu tidak memerlukannya. Hal ini, karena kaum munafik sebelumnya meminta Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di situ.

[8] Yakni hari pertama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menempati Darulhijrah (Madinah).

[9] Mereka adalah orang-orang Anshar.

[10] Baik dari dosa yang menodai batin, maupun dari najis dan hadats yang menodai lahiriah mereka. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam shahihnya dari ‘Uwaimir bin Sa’idah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi mereka di masjid Quba’ dan bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memperbagus pujian-Nya untuk kamu dalam hal bersuci ketika menerangkan kisah masjidmu, lantas bersuci seperti apa yang kamu lakukan?” Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, kami sebenarnya tidak mengetahui apa-apa. Hanyasaja kami memiliki tetangga orang-orang Yahudi, di mana mereka membasuh dubur mereka setelah buang air besar, maka kami pun membasuh sebagaimana mereka.”

[11] Baik bersih maknawi, yaitu bersih dari syirk dan akhlak tercela, maupun bersih hissiy, yaitu bersih dari najis dan hadats.

[12] Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala membedakan masjid sesuai tujuan pembangunannya, antara masjid yang dibangun dengan niat yang ikhlas dan mengikuti perintah-Nya dengan masjid yang dibangun bukan karena itu.

[13] Ini merupakan perumpamaaan bangunan yang tidak dibangun di atas takwa. Pertanyaan di ayat ini adalah untuk taqrir (menetapkan).

[14] Yakni sampai mereka mati. Bisa juga maksudnya bahwa bangunan yang mereka bangun itu menjadi sebab keraguan dalam hati mereka, kecuali jika mereka menyesal dengan penyesalan yang dalam seakan-akan hati mereka tersayat-sayat, bertobat kepada Tuhannya, dan takut kepada-Nya dengan sesungguhnya, maka Allah akan memaafkan mereka. Jika mereka tidak bertobat, maka yang mereka bangun akan terus menambah keraguan dan kemunafikan di hati mereka, nas’alullahas salaamah wal ‘aafiyah. Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan:

- Membuat masjid dengan maksud menimbulkan bencana bagi masjid sebelahnya adalah haram, dan bahwa masjid tersebut mesti dirobohkan jika diketahui maksud dari pembangunannya.

- Amal, meskipun saleh dapat dirubah oleh niat sehingga berubah menjadi terlarang.

- Setiap keadaan yang mengakibatkan perpecahan antara kaum mukmin termasuk maksiat yang mesti ditinggalkan dan disingkirkan, sebagaimana keadaan yang menjadikan kaum mukmin bersatu harus diikuti, dan didorong melakukannya.

- Larangan shalat di tempat-tempat maksiat, menjauhinya dan tidak mendekatinya.

- Maksat dapat mempengaruhi tempat, sebagaimana maksiat kaum munafik berpengaruh pada masjid dhirar dan terlarangnya melakukan shalat di sana.

- Demikian pula, bahwa ketaatan juga mempengaruhi tempat sebagaimana pada masjid Quba’. Oleh karena itu, masjid Quba’ memiliki kelebihan di atas masjid yang lain sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering mengunjungi masjid Quba’ setiap hari Sabtu untuk shalat di situ, dan mendorong untuk melakukan shalat di sana. Jika masjid Quba’ yang dibangun atas dasar takwa demikian mulianya, apalagi masjid yang dibangun langsung oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu masjid Nabawi.

- Setiap perbuatan, jika di dalamnya terdapat hal yang membahayakan seorang muslim, atau di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, atau memecah belah kaum mukmin, atau membantu musuh Allah dan Rasul-Nya, maka perbuatan iu haram dilakukan.

- Amalan yang dibangun atas dasar ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itulah amal yang dibangun atas dasar takwa, sedangkan amalan yang dibangun dengan niat yang buruk dan tidak mengikuti sunnah (di atas bid’ah) merupakan amal yang diangun di atas tepi jurang yang hampir roboh.

[15] Dia tidaklah berbuat, mencipta, memerintah, dan melarang kecuali sesuai hikmah-Nya.

[16] Untuk mengerahkan semua itu dalam ketaatan kepada-Nya, seperti berjihad melawan musuh-Nya demi menegakkan kalimat-Nya dan memenangkan agama-Nya.

[17] Semua kitab yang besar ini sepakat terhadap janji tersebut.

[18] Yakni tidak ada yang paling memenuhi janji selain Allah.

[19] Yakni hendaknya kalian bergembira, dan memberitakan kepada yang lain serta memberkan dorongan.

[20] Di mana tidak ada keberhasilan yang lebih besar dan lebih agung selainnya, karena keberhasilan tersebut mengandung kebahagiaan yang abadi, kesenangan yang kekal, dan keridhaan dari Allah yang merupakan nikmat surga yang paling besar. Jika anda ingin memperhatikan betapa besarnya jual beli ini, maka perhatikanlah siapa yang membeli, gantinya, dan apa yang dibeli? Pembelinya adalah Allah Azza wa Jalla, gantinya adalah surga, dan yang dibeli adalah jiwa dan harta yang merupakan sesuatu yang paling dicintai manusia.

[21] Seakan-akan disebutkan sebelumnya, “Siapakah kaum mukmin yang memperoleh berita gembira dari Allah dengan masuk ke dalam surga dan memperoleh berbagai karamah (keutamaan) itu?”

[22] Dari syirk maupun dari kemunafikan atau yang senantiasa bertobat dari semua kemaksiatan di setiap waktu.

[23] Yang beribadah dengan ikhlas lillah. Mereka senantiasa taat dengan mengerjakan kewajiban dan mengerjakan perkara yang dianjurkan di setiap waktu.

[24] Dalam setiap keadaan, baik di waktu lapang maupun sempit, yang mengenali nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada mereka baik yang nampak mapun yang tersembunyi, yang menyanjung-Nya dengan menyebut nama-Nya dan mengingat-Nya di waktu malam dan siang.

[25] Maksudnya mengembara untuk ibadah seperti mencari ilmu, berjihad, berhaji, berumrah, silaturrahim, dsb. Ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa.

[26] Yakni yang banyak melakukan shalat.

[27] Perbuatan yang ma’ruf mencakup perbuatan wajib maupun sunat.

[28] Yakni semua yang dilarang Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

[29] Dengan mempelajarinya dan mengamalkannya.

[30] Dengan surga.

[31] Ayat ini turun karena permohonan ampunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pamannya Abi Thalib dan permohonan ampunan sebagian sahabat untuk kedua ibu bapaknya yang musyrik. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyib dari bapaknya, bahwa bapaknya memberitahukan kepadanya, “Ketika Abu Thalib akan wafat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang, dan Beliau mendapatkan di dekatnya ada Abu Jahal bin Hisyam dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al Mughirah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Thalib, “Wahai pamanku, katakan “Laailaahaillallah” sebagai suatu kalimat yang aku akan menjadi saksi bagimu di hadapan Allah.” Abu Jahal dan Abu Umayyah pun berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci agama Abdul Muththalib?” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya menawarkan kepadanya, sedangkan keduanya juga mengulangi kata-kata tadi, sehingga kata-kata Abu Thalib yang terakhir kepada mereka adalah bahwa dia di atas agama Abdul Muththalib, ia menolak mengucapkan, “Laailaahaillallah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tentangnya tersebut.

[32] Hal itu, karena memohonkan ampunan dalam keadaan seperti ini tidak bermanfaat, karena mereka mati di atas syirk atau diketahui bahwa mereka mati di atasnya, di mana ketetapan azab sudah pasti bagi mereka dan mereka mesti kekal di neraka. Syafaat maupun permohonan ampun tidaklah bermanfaat. Di samping itu, Nabi dan orang-orang yang beriman seharusnya mengikuti Tuhan mereka dalam hal ridha dan bencinya, berwala’ (mencintai) kepada mereka yang dicintai Allah dan berbara’ (membenci) mereka yang dimusuhi Allah, sedangkan memintakan ampunan kepada orang yang telah jelas sebagai penghuni neraka adalah bertentangan dengan hal itu. Kalau pun pernah dilakukan oleh kekasih Allah, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam maka hal itu karena janji yang telah diikrarkan kepada bapaknya, dan hal itu ketika ia belum mengetahui akhir hidup bapaknya. Ketika Ibrahim mengetahui bahwa bapaknya dalah musuh Allah, ia akan mati di atas kekafiran, dan manfaat maupun peringatan tidak bermanfaat baginya, maka ia berlepas diri darinya karena mengikuti Tuhannya dan beradab terhadap-Nya.

[33] Dengan mati di atas kekafiran.

[34] Yaitu ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku.” (lihat Maryam: 47) dengan harapan bapaknya mau masuk Islam.

[35] Dengan mati di atas kekafiran.

[36] Dan tidak memohonkan ampunan untuknya.

[37] Sangat sering merendahkan diri dan berdoa, ia sangat sering kembali kepada Allah dalam segala urusan, banyak berdzikr, berdoa, beristighfar dan kembali kepada Tuhannya.

[38] Yakni sabar terhadap gangguan dan memaafkan orang lain. Oleh karena itu, ikutilah jejak langkah Nabi Ibrahim semuanya, selain dalam hal doa Ibrahim untuk bapaknya yang musyrik (lihat Al Mumtahanah: 4).

[39] Kepada Islam.

[40] Maksudnya seorang hamba tidak akan diazab oleh Allah semata-mata karena kesesatannya, melainkan karena hamba itu melanggar perintah-perintah yang sudah diberitahukan kepadanya. Mereka telah diberitahukan amal yang harus mereka kerjakan, namun mereka malah melanggarnya, sehingga mereka pantas untuk disesatkan. Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan sempurnanya rahmat-Nya, dan bahwa syari’at-Nya sangat sempurna menerangkan semua yang dibutuhkan manusia baik dalam masalah ushul (dasar-dasar) agama maupun dalam masalah furu’ (cabang). Dalam ayat ini juga terdapat ancaman, bahwa barang sapa yang telah diterangkan kepadanya jalan-jalan hidayah, namun tidak ditempuhnya, maka hukumannya adalah disesatkan sebagai balasan terhadap penolakannya terhadap kebenaran.

[41] Dia mengetahui siapa di antara mereka yang berhak diberi hidayah dan siapa yang berhak disesatkan-Nya. Karena sempurna ilmu-Nya, Dia mengajarkan kepada kamu apa saja yang belum kamu ketahui dan menerangkan hal yang bermanfaat bagimu.

[42] Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang yang memiliki langit dan bumi, Dia mengatur hamba-Nya, baik dengan menghidupkan maupun mematikan dan bentuk pengaturan ilahiyyah lainnya. Jika Dia tidak melalaikan pengaturan yang sifatnya qadari di alam semesta, lantas bagaimana mungkin Dia melalaikan pengaturan yang sifatnya agama yang terkait dengan ketuhanan-Nya dan membiarkan hamba-hamba-Nya begitu saja atau membiarkan hamba-hamba-Nya tersesat dan tidak tahu jalan, padahal yang demikian merupakan bentuk pengaturan yang paling agung?

3 komentar:

  1. Assalmkm, wahai saudara2 muslimku waspadlah kepada penguasa2 munafik dan kafir yg mmbangun masjid2 demi pencitraan sj demi pemilu,waspada akan banyak lagi pengganti walau yg satu sdh tamat/diadili, padahal sebnarnya hany ingin mengadu domba antar mukmin agar terpecah, waspadalah kepada pemimpin partai yg menyebut agama Islam kita sebagai " Ideologi Tertutup".. yg menghambat demokrasi (kapitalis) negara ini..yg meragukan kaum ulama ttg hari akhir, yg nota bene belum pernah ke san(akherat) kata partai tsb.

    BalasHapus