Kamis, 04 April 2013

Tafsir At Taghaabun Ayat 11-18

Ayat 11-13: Keutamaan bersabar terhadap musibah, perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta peringatan agar tidak berpaling dari seruan Allah.

  مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (١١) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ (١٢) اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (١٣)

Terjemah Surat At Taghaabun Ayat 11-13

11. Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah[1]; dan barang siapa beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya[2]. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

12. Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul[3]. Jika kamu berpaling[4] maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang[5].

13. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia[6]. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah[7].

Ayat 14-16: Peringatan kepada kaum mukmin agar tidak tergoda oleh istri dan anak sehingga lalai dari mengerjakan perintah Allah.

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ      (١٤) إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (١٥)فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٦)

Terjemah Surat At Taghaabun Ayat 14-16

14. [8] [9]Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,[10] maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka [11]dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[12].

15. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)[13], dan di sisi Allah pahala yang besar[14].

16. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu[15] dan dengarlah[16] serta taatlah[17]; dan infakkanlah[18] harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung[19].

Ayat 17-18: Perintah berinfak di jalan Allah, dimana hal itu merupakan separuh dari jihad.

إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ (١٧) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٨)

Terjemah Surat At Taghaabun Ayat 17-18

17. [20]Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik[21], niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu[22] dan mengampuni(dosa-dosa)mu[23]. Dan Allah Maha Mensyukuri[24] lagi Maha Penyantun[25].

18. Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Yang Mahaperkasa[26] lagi Mahabijaksana[27].


[1] Dengan perintah Allah, yakni dari taqdir dan kehendak-Nya. Hal ini umum mencakup semua musibah baik yang menimpa diri, harta, anak, kekasih dsb. Semua ini dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya yang telah diketahui oleh Allah, ditulis-Nya, dikehendaki-Nya dan sejalan dengan hikmah-Nya? Yang terpenting di antara semua itu adalah apakah seorang hamba dapat memikul tugasnya (bersabar) dalam kondisi ini atau tidak? Barang siapa yang mampu memikulnya dengan bersabar, maka dia akan memperoleh pahala yang besar di dunia dan akhirat. Jika dia beriman bahwa musibah itu dari sisi Allah, dia pun ridha dengannya serta menerima, maka Allah akan menunjuki hatinya sehingga dia pun tenang dan tidak akan gelisah ketika ada musibah sebagaimana yang terjadi pada orang yang tidak ditunjuki oleh Allah hatinya. Tidak hanya itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengaruniakan kepadanya tsabat (keteguhan) ketika musibah itu datang, dan ia mampu memikul tugasnya yaitu bersabar sehingga ia memperoleh pahala yang segera disamping pahala yang Allah simpan untuknya pada hari pembalasan sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Terj. Az Zumar: 10)

Dari ayat ini juga dapat diketahui, bahwa barang siapa yang tidak beriman kepada Allah ketika ada musibah, yakni Dia tidak melihat kepada qadha’ Allah dan qadar-Nya, bahkan berhenti di hadapan sebab, maka dia akan ditelantarkan dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menyerahkannya kepada dirinya, dan jika sudah diserahkan kepada dirinya, maka tidak ada yang dia lakukan selain keluh kesah dan gelisah yang merupakan hukuman yang disegerakan kepada seorang hamba sebelum hukuman di akhirat karena ia melalaikan kewajiban sabar. Hal ini yang terkait dengan firman-Nya, Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah,” dalam hal musibah, adapun yang terkait dengan ayat itu dari sisi keumuman lafaz adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan, barang siapa yang beriman yakni kepada semua yang diperintahkan untuk diimani seperti beriman kepada rukun iman yang enam dan ia benarkan imannya dengan konsekwensi dari iman berupa menegakkan lawazim (hal yang menyatu) dan kewajibannya, maka keimanannya itu merupakan sebab terbesar agar ia mendapatkan hidayah Allah dalam semua keadaaannya, ucapannya dan perbuatannya, demikian pula dalam ilmu dan amalnya. Ini merupakan balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Terj. Ibrahim: 27)

Pada asalnya tsabat (keteguhan) adalah tetapnya hati, sabar dan yakinnya dia ketika datang semua fitnah. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang paling mendapat petunjuk hatinya, paling kokoh saat menghadapi peristiwa yang mengguncangkan hatinya karena keimanan yang ada padanya.

[2] Menurut Ibnu Katsir, maksudnya adalah barang siapa yang ditimpa musibah lalu ia mengetahui bahwa musibah itu dengan dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya, sehingga ia pun bersabar dan mengharap pahala, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengganti terhadap apa yang luput baginya dari dunia dengan petunjuk dan keyakinan yang benar di dunia. Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya Allah tunjuki hatinya kepada keyakinan, sehingga dia mengetahui bahwa apa yang (ditetapkan) menimpanya maka tidak akan meleset dan apa yang tidak akan menimpanya, maka tidak akan mengenainya.” Al A’masy berkata dari ‘Alqamah tentang ayat, “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan tunjuki hatinya,“ maksudnya adalah seorang yang terkena musibah, ia pun mengetahui bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah sehingga ia pun ridha dan menerima.“ Sa’id bin Jubair berkata, “Ia beristirja’ dengan mengucapkan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (artinya: sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).”

[3] Dengan melaksanakan perintah keduanya dan menjauhi larangannya, karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan pusat kebahagiaan dan tanda keberuntungan.

[4] Dari taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

[5] Yakni menyampaikan apa yang diembannya dengan jelas sehingga hujjah tegak, dia tidak bisa menjadikan kamu mendapatkan hidayah taufiq selain hidayah irsyad (menerangkan yang hak dan yang batil sejelas-jelasnya) dan dia bukan yang menghisabmu, bahkan yang menghisabmu adalah Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang mengetahui yang gaib dan yang nyata.

[6] Oleh karena itu, segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya adalah batil.

[7] Yakni hendaknya mereka bersandar kepada-Nya dalam semua masalah yang menimpa mereka dan dalam hal yang ingin mereka kerjakan, karena tidak ada satu urusan pun yang mudah kecuali dengan pertolongan Allah dan seseorang tidaklah sempurna bersandar kepada Allah sampai dia berhusnuzhzhan (bersangka baik) kepada Allah, percaya bahwa Dia akan mencukupinya, dan tingkat tawakkal seseorang sesuai dengan keimanan seorang hamba, setiap kali imannya menguat, maka semakin kuat pula tawakkalnya.

[8] Tirmidzi berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, telah menceritakan kepada kami Israil, telah menceritakan kepada kami Simak bin Harb dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa ia ditanya oleh seseorang tentang ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman! sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” Ia berkata, “Mereka ini adalah laki-laki yang masuk Islam dari penduduk Mekah. Mereka ingin mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi istri dan anak-anak mereka menolak ditinggalkan oleh mereka karena hendak datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mereka telah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka melihat orang-orang telah paham agama, maka mereka hendak menghukum (keluarga) mereka, maka Allah menurunkan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…dst.” (Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Muqbil, “Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir juz 28 hal. 124, Hakim juz 2 hal. 490, ia berkata, “Shahih isnadnya, namun keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkan.” Adz Dzahabi mendiamkan pernyataan Hakim, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 4 hal. 376. Hadits ini berpusat pada Simak dari Ikrimah, sedangkan riwayat Simak dari Ikrimah adalah mudhtharib (guncang), sehingga hadits tersebut dha’if.”)

[9] Ayat ini merupakan peringatan dari Allah kepada kaum mukmin agar tidak terlalaikan oleh istri dan anak, karena sebagiannya ada yang menjadi musuh bagi mereka, yakni yang menghalangi mereka dari kebaikan. Oleh karena itu, sikap yang harus mereka lakukan adalah berwaspada, tetap melakukan perintah Allah, mengutamakan keridhaan-Nya karena di sisi-Nya ada pahala yang besar dan mengutamakan akhirat daripada dunia yang fana.

[10] Maksudnya, terkadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama atau menghalanginya dari mengerjakan kebaikan seperti berjihad dan berhijrah.

[11] Oleh karena larangan menaati istri dan anak jika di sana terdapat bahaya terhadap seorang hamba memberikan kesan agar bersikap keras kepada mereka, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menghilangkan kesan ini dan memerintahkan mereka untuk memaafkan, tidak memarahi dan mengampuni mereka. Hal itu, karena sikap tersebut (memberi maaf) terdapat banyak maslahat.

[12] Hal itu, karena balasan disesuaikan dengan jenis amalan. Barang siapa yang memaafkan, maka Allah akan memaafkannya, barang siapa yang mengampuni maka Allah akan mengampuninya, dan barang siapa yang bermu’amalah dengan Allah dengan amal yang dicintai-Nya, maka Allah akan mencintainya, demikian pula barang siapa yang bermu’amalah dengan manusia dengan amal yang dicintai mereka niscaya manusia mencintainya.

[13] Yang melalaikan kamu dari akhirat.

[14] Oleh karena itu, janganlah kamu luputkan pahalamu karena disibukkan oleh harta dan anak.

[15] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya sesuai dengan kemampuan. Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kewajiban yang seorang hamba tidak dapat melakukannya, maka kewajiban itu gugur darinya, dan bahwa jika seseorang mampu melakukan sebagian perintah dan tidak bisa melakukan sebagian lagi, maka yang bisa ia lakukan dilakukannya dan yang tidak bisa maka gugur darinya sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan suatu perintah, maka lakukanlah sesuai kesanggupanmu.”

[16] Yakni dengarlah nasihat Allah kepadamu serta hukum-hukum syang disyariatkan-Nya. Ketahuilah hal itu dan ikutlah.

[17] Kepada Allah dan Rasul-Nya dalam semua urusanmu.

[18] Baik infak yang wajib maupun yang sunat, tentu hal itu lebih baik bagimu di dunia dan akhirat, karena kebaikan terletak dalam mengikuti perintah Allah, menerima nasihatnya dan tunduk kepada syariat-Nya, sedangkan keburukan terletak pada selain itu. Namun di sana ada penyakit yang menghalangi kebanyakan manusia dari berinfak, yaitu sifat kikir yang manusia diciptakan di atasnya, maka dalam lanjutan ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan, bahwa barang siapa yang dijaga dari kekirikan dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.

[19] Mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan dan selamat dari hal yang tidak mereka inginkan.

[20] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala mendorong mereka untuk berinfak.

[21] Yaitu dengan menyedekahkan harta dengan hati yang puas dan rela dari harta yang halal dengan maksud mencari keridhaan Allah.

[22] Dari sepuluh menjadi tujuh ratus, bahkan bisa lebih.

[23] Karena sebab infak dan sedekah, karena dosa dapat terhapus dengan sedelah dan amal saleh lainnya sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Terj. Huud: 114)

[24] Allah Subhaanahu wa Ta'aala Maha Mensyukuri, Dia menerima amal yang sedikit dari hamba-hamba-Nya dan memberinya balasan yang banyak. Dia bersyukur kepada orang yang rela berkorban karena-Nya dan siap memikul beban-beban berat, oleh karenanya barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.

[25] Dia tidak segera menyiksa orang-orang yang durhaka kepada-Nya, bahkan memberinya tangguh dan kesempatan untuk bertobat.

[26] Dia tidak bisa dikalahkan, bahkan Dia mengalahkan dan menundukkan segala sesuatu.

[27] Dalam ciptaan dan perintah-Nya, Dia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Selesai tafsir surah At Taghaabun dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya wal hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.

2 komentar: